July 15, 2025 at 04:32PM
Saring Sebelum Sharing, Influencer Bisa Saja Salah
tirto.id – Seperti halnya kata "influencing" yang berarti memengaruhi, pengaruh influencer di era serba digital ini tampaknya semakin hari semakin kuat. Sebagian masyarakat bahkan "mengandalkan" informasi soal berbagai isu dari para influencer, dibanding sumber-sumber lain.
Survei Tirto bersama Jakpat teranyar pada 1 Juli 2025 merekam sebanyak 10,82 persen dari 1.238 responden lebih percaya pada influencer, ketimbang pakar, akademisi, atau profesional. Sebagai informasi, jajak pendapat ini melibatkan responden berusia 16 – 45 tahun, yang berasal dari 34 provinsi.
Menariknya, mereka yang menaruh kepercayaan lebih besar ke
influencer
bukan berarti tak melakukan verifikasi terhadap informasi yang disampaikan para pemengaruh. Mayoritas responden justru mengaku selalu mengecek ulang setiap informasi yang mereka terima, sementara lainnya mengatakan mereka hanya
cross check
sebagian informasi.
Jika ditelisik, alasan responden lebih percaya influencer dibanding pakar, kebanyakan para responden bilang, penjelasan yang diberi para pemengaruh mudah dipahami dan konten yang disajikan menarik untuk ditonton. Persentase masing-masing opsi tersebut mencapai 62,69 persen dan 55,97 persen.
Bentuk konten yang menarik itu barangkali berupa meme-meme yang terasa lebih relate dengan anak muda, penggunaan latar suara-suara populer yang lebih gampang "ditangkap telinga", atau penciptaan narasi yang terasa mengalir begitu saja. Isu-isu yang mungkin dianggap terlalu serius atau berat, seketika berubah menjadi pembahasan yang mudah dicerna.
Seorang influencer, Eky Priagung misalnya, pada Sabtu (12/7/2025) lalu ikut menyuarakan #SaveSagea, sebuah kampanye yang menyoroti persoalan dampak dari tambang nikel di Sagea, Maluku Utara.
Lewat konten yang ia kemas menyenangkan, Eky mencoba menyampaikan pesan soal "ikan yang bikin bodoh", alias ikan-ikan yang tercemar nikel, yang berpotensi menyebabkan penyakit. Eky cuman memulai narasi dengan sederhana: ia awalnya tak suka makan ikan.
Sebagai penonton, siapa sangka Eky menyinggung persoalan nikel, alih-alih menjelaskan kandungan gizi ikan, katakanlah. Unggahan sosok komika ini bahkan meraup 73 ribu tanda suka dan 1.085 komentar. Seorang pengguna Instagram berceletuk di kolom komentar, "Suka konten abang ini, jelas detail, penyampaian mudah dimengerti, ada referensinya, jadi tau dari awal sampai dampaknya".
Penyampaian pesan dan bentuk konten yang inovatif barangkali memang jadi kekuatan influencer masa kini. Di tengah menguatnya ancaman terhadap pers dan kalangan pakar, informasi dari para pemengaruh menjadi opsi yang lebih gampang diakses.
Selain persoalan penjelasan dan konten, menurut survei Tirto dan Jakpat, sejumlah faktor yang juga ditemukan menjadi alasan populer lebih percaya influencer adalah akun media sosial yang sudah terverifikasi, atau influencer yang bersangkutan rutin membuat konten dengan topik tertentu. Konsistensi tersebut dianggap masyarakat bisa membangun kepercayaan terhadap sosok influencer.
Jenis influencer yang umumnya diikuti (di-follow) oleh responden yakni influencer kuliner, hiburan/sketsa lucu, fesyen dan kecantikan, keuangan atau finansial, pendidikan, kesehatan, serta teknologi. Secara umum, mayoritas responden mengaku mereka percaya terhadap informasi yang disampaikan influencer, di mana persentasenya mencapai 59,61 persen.
Hampir 30 Persen Responden Pernah "Tertipu" Influencer
Sudah benar langkah warga untuk membarengi kepercayaan terhadap informasi dari influencer dengan langkah untuk verifikasi informasi. Sebab, pemengaruh pun terkadang alpa, atau mendapatkan informasi dari sumber yang belum bisa dipertanggung jawabkan kredibilitasnya, sehingga berujung menyampaikan hoaks atau misinformasi.
Dari hasil survei, Tirto menjumpai bahwa hampir 30 persen alias 26,90 persen pernah setidaknya sekali merasa tertipu atau salah paham karena konten influencer. Meski total 50,97 persen responden menjawab "tidak yakin" dan "tidak pernah", ada kira-kira 274 responden atau 22,13 persen yang bahkan mengaku pernah tertipu lebih dari sekali.
Temuan itu tentu tak mengherankan mengingat ada influencer yang diketahui tidak mengedepankan fakta sebelum berbagi. Menurut laporan "Reuters Institute Digital News Report 2025", influencer dan politisi dianggap sebagai ancaman terbesar penyebaran informasi menyesatkan oleh 47 persen responden di seluruh dunia.
Survei Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa/UNESCO pada tahun lalu juga mengungkap, sebanyak 62 persen influencer bilang mereka tidak melakukan pengecekan fakta secara cermat sebelum menyebarkan kontennya. Studi itu melibatkan 500 influencer dari 45 negara.
Terkait informasi yang berasal dari influencer, di Indonesia, saat COVID-19 merebak, musisi Erdian Aji Prihartanto alias Anji, pernah dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada Senin (3/8/2020) terkait konten yang ia sebarkan terkait COVID.
Dalam video berdurasi sekitar 30 menit menghadirkan narasumber bernama Hadi Pranoto, yang disebut sebagai pakar mikrobiologi. Lewat video itu, Hadi menyampaikan sejumlah klaim, antara lain virus COVID-19 tidak bisa dilawan dengan vaksin dan virus COVID-19 berasal dari Perang Korea.
Masih adanya influencer yang mengamplifikasi hoaks atau teori konspirasi di satu sisi menunjukkan bahwa pemeriksaan fakta bukanlah norma di lingkungan mereka. Namun, di sisi lain, berdasarkan survei UNESCO, beberapa pembuat konten juga mengalami kesulitan dalam menentukan kriteria penilaian kredibilitas informasi yang mereka temukan secara daring.
Ilustrasi Influencer. FOTO/iStockphoto
Sebanyak 42 persen responden menyatakan bahwa mereka menggunakan "jumlah 'suka' dan 'bagikan' yang diterima sebuah unggahan" di media sosial sebagai indikator utama.
Sementara sebanyak 21 persen responden mengatakan senang berbagi konten dengan audiens mereka jika konten tersebut dibagikan oleh "teman yang mereka percaya", dan 19 persen menyatakan bahwa mereka mengandalkan "reputasi" penulis atau penerbit konten asli.
Kepercayaan Tinggi Dibanding Negara Lain
Meski secara umum kepercayaan terhadap influencer lebih rendah dibanding kepercayaan terhadap pakar, baik di level global maupun di Indonesia, persentase masyarakat Indonesia yang percaya para pemengaruh ini tetap lebih tinggi ketimbang negara-negara lain, seperti Malaysia, Filipina, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat (AS).
Hal itu terekam dalam laporan Global Trustworthiness 2024 yang dikeluarkan Ipsos. Menurut laporan tersebut, persentase kepercayaan rakyat Indonesia terhadap influencer media sosial mencapai 32 persen, setara dengan proporsi masyarakat Thailand yang percaya pemengaruh.
Sementara di Filipina dan Malaysia, persentase warga yang percaya pemengaruh berada di level 23-27 persen. Lalu di Australia lebih rendah, yakni hanya menyentuh 12 persen dan di AS 15 persen.
Adapun tiga profesi yang paling dipercaya menurut warga Indonesia yakni guru, ilmuwan, dan dokter. Sedangkan profesi politisi, pejabat kabinet/kementerian, dan polisi menduduki kursi sebagai golongan yang paling tidak dipercaya.
tirto.id – Indepth
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty
Artikel ini juga terbit di https://bit.ly/3THdfXJ
from Parena – Pastikubisa https://ift.tt/eyTBtob
via IFTTT
Comments
Post a Comment